Sejarah
Menelusuri jejak sejarah Mbah Kyai Nur Iman, tidak dapat di lepaskan
dari awal mula keberadaan dusun mlangi.untuk itu kita perlu mengetahui
sejarah berdirinya Dusun / Kampung Mlangi, ini berarti kita pun sekilas
perlu menengok kembali Sejarah Kerajaan Mataram / Babad Tanah Mataram.
Masjid Pathok Negoro Mlangi
Pada waktu itu di Kerajaan Mataram yang beribukotakan Kartosuro, banyak diwarnai sengketa
diantara para pangeran, terutama masalah yang menyangkut suksesi.
Walaupun raja yang sedang memerintah telah mentiapkan penggantinya, namu
setelah Raja mangkat, pergantian tahta sering berlangsung tidak mulus.
Apalagi ditambah politik penjajah Belanda yang licik dan jahat,
seringkali mengadu domba keluarga Raja termasuk para pangeran, yang
akhirnya menjadi terpecah belah.
Pertentangan di dalam Keluarga Kerajaan Mataram setelah sunan / Susuhan /
AMangkurat II surut / meninggal pada tahun 1703, memberi peluang bagi
VOC untuk mencampuri urusan kerajaan. Dengan maksud memecah belah,
Belanda membantu Pangeran Puger, adik Amangkurat II untuk merebut tahta
menghadapi Sunan Mas, Putra Amangkurat II yang menjadi Amangkurat III.
Kompeni Belanda mengangkat pangeran Puger menjadi Paja dengan gelar
Susuhunan Paku Buwono 1. Pada waktu itulah seorang Pangeran yang bernama
R.M. Suryo Putro yang merasa sangat sakit hati atas peristiwa itu,
sehingga memutuskan untuk pergi keluar Kraton menuju ke arah Timur /
Brang Wetan.
Dalam perjalanannya paneran Suryo Putro / R. M. Suryo Putro sampai di
Surabaya. Di sana ada satu kampung yang bernama kampung Gedangan. Secara
kebetulan di kampung tersebut ada sebuah Pondok Pesantren namanya Pondok Pesantren Gedangan. Pengasuh Pondok Pesantren Gedangan saat itu adalah Kyai Abdullah Muhsin. Singkat cerita, R. M. Suryo Putro akhirnya menjadi santri di Pondok Pesantren tersebut dan berganti nama M. Ihsan.Salah satu kegiatan rutin yang diadakan di pondok pesantren Gedangan setiap 35 hari sekali (selapan dina) adalah pengajian umum.Tidak terduga, suatu saat, ketika Kyai Abdullah Muhsin mengadakan
pengajian lapanan, dating berkunjung seorang pejbat negara. Beliau
adalah Adipati Pasuruhan yang bernama Adopati Wironegoro. AdipatiWironegoro meripakan gelar yang diberikan Raja Mataram Kartosuro /
Amangkurat II kepada Untung Suropati. Gelar tersebut diberikan sesuai
dangan jabatannya sebagai Adipati Pasuruhan, berkat keberhasilan Untung Suropati membunuh pimpinan Kompeni Belanda yang bernama Kapten Francois Tack beserta 77 prajurit Belanda .
Gapura Masjid jami' Mlangi
Kehadiran seorang pejabat negara diacara pengajian yang diadakan
oleh Pondok Pesantren yang diasuhnya, tentu saja membuat Kyai Abdullah
Muhsin merasa senang dan menyambutnya penuh kehormatan.Kebetulan yang menyajikan hidangan untuk para tamu tersebut adalah santri–santri pondok, termasuk M. Ihsan sebagai pimpinan.Pada waktu Ihsan mondar-mandir di muka tempat duduk Kanjeng Adipati guna
menyajkan hidangan, ternyata Kanjeng Adipati mengamatinya dengan
seksama. Hal ini karena beliau merasa sudah pernah bertamu, dan beliau
yakin sekali kalau santri itu adalah seorang bangsawan.
Setelah pengajian tersebut selesai, Kanjeng Adipati tidak segera pulang,
tetapi justru meminta kepada Kyai Abdullah Muhsin supaya memanggil
santrinya yang diduganya sebagai bangsawan tadi. Demi penghormatan
terhadap pejabat negara, maka Kyai Abdullah Muhsin, segera memanggil
santrinya yang bernama Ihsan. Dalam benak sang Kyai bertanya-tanya
apakah sebabnya Kanjeng Adipati ingin sekali bertamu dengan santrinya
itu.Tidak berapa lama kemudaian, M. Ihsan yang berwajah tampan dan santun
itupun menghadap Kanjeng Adipati Wirlonegoro. Setelah bersalam-salaman
baik Kanjeng Adipati Wironegoro maupun M.Ichsanatau R.M. Suryo Putro saling meyakini dan tidak lupa bahwa mereka sudah saling mengenal sebelumnya.Kepada Kyai Abdullah Muhsin, kedua Priyogung itu meminta untuk
merahasiakan pertemuan tersebut dan tetap menganggap pangeran R.M.Suryo
Putro sebagai santri biasa, jangan sampai ketahuan kalau beliau adalah seorang bangsawan. Sambil pamitan pulang Kanjeng
Adipati memohon dengan hormat kepada pangeran untuk sudi berkunjung ke
Kadipaten dengan menyamar, yang segera disanggupi oleh Pangeran.
Pada suatu saat, Pangeran berkesempatan berkunjung ke Kadipaten untuk menyampaikan pesan yang isinya jangan sampai keberadaan beliau di Pondok Pesantern Gedangan diketahui oleh keluarga / kerabat Kraton.
Selama berkunjung di Kadipaten Pasuruhan, Pangeran dijamu secara baik
dan dikenalkan dengan semua keluarga Adipati Wironegoro termasuk
putrinya yang bernama R.A.Retno Susilowati.Dari waktu berganti waktu, dengan pertimbangan yang sangat matang antara
Kanjeng Adipati Wironegoro, Kyai Abdullah Muhsin dan Pangeran R.M.
Suryo Putro atau M.Ihsan, diambillah keputusan untuk menikahkan Pangeran
R.M. Suryo Putro dengan putri Kanjeng Adipati yaitu R.A. Retno
Susilowati. Kemudian setelah pernikahan tersebut, R.A. Susilowati pun
diboyong ke Pondok Pesantren Gedangan untuk sementara waktu. Sementara itu, selama ditinggal pergi oleh R.M. Suryo Putro, keadaan
Kerajaan Mataram semakin tidak menentu. Hal ini dipicu oleh akal licik
Belanda yang mengangkat / mengganti Raja dengan maksud menimbulkan konflik internal diantara para Pangeran sehingga timbul
perpecahan diantara mereka Pada saat masa keprihatinan tersebut, Raja
mendapat kabar dari telik sandi bahwa Pangeran Suryo Putro berada diSurabaya berguru di Pondok Pesantern Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin.
Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput sang Pangeran kembali
ke Mataram Kartosuro. Karena hal itu merupakan perintah Raja, Sang
Pangeran tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu istri Pangeran yang
sedang hamil dititipkan kepada Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran berpesan
bahwa apabila istrinya melahirkan, jika yang terlahir adalah bayi
laki-laki diberi nama R.M. Sandiyo, namun bila perempuan, pemberian
namanya diserahkan Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran juga meminta pada Kyai Abdullah Muhsin, agar mendidik anak
tersebut sampai menguasai ilmu agama secara sempurna. Dan setelah dewasa
sang anak akan dijemput untuk pulang ke Mataram Kartosuro.
Setibanya di Mataram Kartosuro,sang Pangeran langsung dinobatkan menjadi
raja dengan gelar Susuhunan Amangkurat Jawi / Amangkurat IV. Kanjeng
Susuhunan Amangkurat IV memerintah kurang lebih pada tahun 1719-1726.
Sebelum meningal, beliau teringat pernah menitipkan istri yang bernama
R.A. Retno Susilowati yang ketika ditinggal sedang hamil. Mengingat hal
itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, diperkirakan bayi tersebut
sudah tumbuh dewasa.
2. Perjalanan R.M.Sandiyo (M.Nur Iman) ke Mataram Kartosuro
Sang Raja kemudian memberi perintah kepada punggawa Kraton untuk
menjemput putranya dan mengajaknya kembali ke Kraton Kartosuro agar
dapat berkumpul dengan keluarga / kerabatnya, termasuk para Pangeran. Adapun putra Raja yang lahir di Pondok Pesantren Gedangan tersebut telah
tumbuh menjadi Priya yang gagah dan tampan. Sesuai amanat Ayahandanya,
ia diberi nama R.M. Sandiyo. Selain itu, Kyai Abdullah Muhsin juga memberinya nama yaitu M. Nur Iman. Nama ini sesuai dengan tindak tanduknya yang arif dan bijak selama
menjadi santri.M. Nur Iman yang telah menguasai ilmu agama secara
sempurna memang sangat didambakan oleh Kyai Abdullah Muhsin, karena amal
ilmunya yang tinggi serta kesolehannya. Sang Kyai pun yakin bahwa
setelah dewasa M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar yang masyhur.
Pada waktu utsan sang Raja tiba untuk menjemput dirinya, R.M. Sandiyo
atau Nur Iman bersedia pulang ke Mataram Kartosuro asalkan
keberangkatannya tidak bersama-sama dengan utusan sang Raja. Setelah
pamit dan minta do'a restu pada sang guru, R.M. Sandiyo atau M. Nur Iman
berangkat menuju Mataram Kartosuro dengan ditemani 2 orang sahabat yang
dikasihi dan dicintainya yaitu Sanusi dan Tanmisani.
Sang Kyai berpesan agar M. Nur Iman tidak melupakan visi dan misinya
sebagai seorang ulama, yaitu menyampaiakan amar ma'ruf nahi munkar,
kapan dan dimana saja. Juga untuk berjuang menegakkan kebenaran Islam
serta mendirikan Pondok Pesantren dimana ia bertempat tinggal. Dalam
perjalanannya menuju kearah barat, M. Nur Iman beserta kedua temannya
sekaligus melakukan dakwah demi berkembangnya agama Islam. Dari kampung
ke kampung, dari desa ke desa hingga di setiap kota yang dilalui, M. Nur
iman beserta kedua temanyya senantiasa berdakwah, bahkan berhasil
mendirikan Pindok Pesantren. Sebur saja misalnya Pondo Pesantren yang
ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Sehingga perjalanan ini memakan waktu hingga beberapa tahun. Setelah
sekian lama menempuh perjalanan, M. Nur Iman dan kedua temannya akhirnya
sampai di kerajaan Mataram Kaeta suro dan langsung menghadap / sungkem
pada Ayahandanya, Kanjeng Susuhan Amangkurat 1V.
Masjid Jami' Mlangi
Pada pertemuan itu, selain bertemu dengan saudarasaudaranya, termasuk
para pengeran, M. Nur Iman mendapat gelar, B. P. H. (Bendoro Pangeran
Hangabei). Sel;ain itu M. Nur Iman juga mendapat rumah kediamannya di
Sukowati. 3. Perjanjian Giyanti,
Kondisi Kraton Mataram yang dilanda perpecahan akibat campur tangan Kompeni
Belanda, yang membantu susuhunan pakubuwono 111, membuat R. M. Sandiyo /
Kyai Nur Imasn prihatin. Hinnga akhirnya terjadilah perang saudara,
diman dalam perang ini ada dua pangeran yang bersekutu, yaitu Pangeran
Sambar Njowo / R. M. said dengan Pangeran Mangkubumi / R. M. Sujono.
Keadaan seoerti ini masih diperkeruh lagi dengan adanya huru-hara antara
bangsa Tionghoa dengan Kompeni Belanda yang sering disebut Geger
Pecinan. Pereng yang sangat melelahkan dan menghabuskan biaya / dana
terlalu banyak tesebut akhirnya bisa diakhiri, dengan adanya perjanjian
perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Perjanjian perdamaian
tersebut terjadi kurang lebih pada tahun 1755 di desa GIyanti, sehngga
perjanjian itupun diberi nama Prjanjian Giyanti. Isi dari Perjanjian
Giyanti antara lain :
1.Kerajaan Mataram Kartosuro didagi menjadi dua :
Dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono 111, beribukota di Surokarto.
Dari Prambanan ke barat dengan ibukota Yogyakarta , menjadi milik
Pangeran Mangkubui yang kemudian bergelar Sultan Hamenku Buwono I .
2.Pangeran Sambar Njowo / R. M. Said diberi kedudukasn sebagai Adipati
denagn gelar Adipati Mangkunegoro I dan diperbolehkan mendirikan sebuah
Puro. Puro tersebut diberi nama Puro Mangkunegoro.
Adanya Perjanjian Giyanti ini ternyata dapat meredakan ketegangan yang
terjadi antara Mataram Surokarto dengan Mataram Yogyakarta ditambah Puro
Mangkunegoro, sehingga suasana pun menjadi tenteram. Dalam keadaan
tenteram inilah, kedua Raja menjadi teringat bahwa mereka masih
mempunyai saudara yang bernama BPH Sandiyo / Kyai Nur Iman. Kemudian
masing- masing Raja memerintahkan prajuritnya untuk mencari tahu
keberadaan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman.
4.Asal-usul Nama Mlangi
Sementara itu, BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman, pada waktu perang saudara
berkecamuk justru memutuskan untuk pergi keluar benteng Kraton beserta
kedua teman akrabnya, Sanusi dan Tanmisani.Dengan semangat tinggi dan kemauan keras, Kyai Nur Iman dan kedua
temannya melakukan perjalanan, melaksanakan da'wah mengembangkan agama
Islam.Mereka juga menanamkan jiwa patriotisme guna menimbulkan rasa
benci masyarakat terhadap kaum penjajah yaitu Kompeni Belanda.
Perjuangan dan seruan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman bersama kedua
temannya ternyata disambut rakyat dengan sepenuh hati, sehingga agama
Islam pun berkembang dengan pesat. Dari arah Kartosuro ke Barat, sampailah perjalanan Kyai Nur Iman dan
kedua temannya itu di suatu daerah di Kulon Progo. Kedatangannya
diterima dengan senang hati oleh seorang Demang yang bernama Hadi Wongso. Demang Hadi Wongso adalah penguasa deda Gelugu, yang kemudian bersama keluarganya bersedia memeluk agama Islam. Tak lama berselang, setelah demang Hadi wonso memahami bahwa Kyai Nur Iman nyata-nyata adalah Ulama Besar.Dia memohon dengan hormat agar Kyai Nur Iman bersedia menikah dengan
putrinya yang bernama Mur Salah. Begitu juga dengan kedua pendereknya,
Sanusi dinikahkan dengan Maemunah, sementara Tanmisani menikah dengan
Romlah. SEtelah Demang Hadi Wongso meninggal dunia, Kyai Nur Iman
sekeluarga pindah tempat ke utara, disebelah timur Kali Progo, yaitu
desa Kerisan. Di desa yang masuk wilayah Yogyakarta inilah Kyai Nur Iman
bertemu dengan utusan Sultan Hamenku Buwono 1, yang kemudian meminta
beliau untuk kembali ke Kraton.
Pada tahun 1976, Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kaneng Sultan Hamengku Buwono