Selasa, 13 Agustus 2013

Tour Trah Mangir Pembayun, Menuju Kedamaian Iedul Fitri 2013 di Kota Yogyakarta Tercinta

Dimakam Simbah Kakung di TMP Kusuma Negara Semaki Yogyakarta
Dimakam Simbah Kakung di TMP Kusuma Negara Semaki Yogyakarta

Dimakam Simbah Kakung di TMP Kusuma Negara Semaki Yogyakarta

di Tembok daftar nama penghuni TMP Kusuma Negara Semaki Yogyakarta

Tembok Tuk Umbul Warung Boto, Petilasan Hamengku Buwono II, ayahanda Pangeran Dipenegoro
Dimakam Jendral Sudirman Panglima Besar TNI di TMP Kusuma Negara Semaki Yogyakarta

Minggu, 30 Juni 2013

Mbah Kyai Nuriman Mlangi, Cucu Untung Suropati

Sejarah


Menelusuri jejak sejarah Mbah Kyai Nur Iman, tidak dapat di lepaskan dari awal mula keberadaan dusun mlangi.untuk itu kita perlu mengetahui sejarah berdirinya Dusun / Kampung Mlangi, ini berarti kita pun sekilas perlu menengok kembali Sejarah Kerajaan Mataram / Babad Tanah Mataram.

Masjid Pathok Negoro Mlangi

Pada waktu itu di Kerajaan Mataram yang beribukotakan Kartosuro, banyak diwarnai sengketa
diantara para pangeran, terutama masalah yang menyangkut suksesi. Walaupun raja yang sedang memerintah telah mentiapkan penggantinya, namu setelah Raja mangkat, pergantian tahta sering berlangsung tidak mulus. Apalagi ditambah politik penjajah Belanda yang licik dan jahat, seringkali mengadu domba keluarga Raja termasuk para pangeran, yang akhirnya menjadi terpecah belah. Pertentangan di dalam Keluarga Kerajaan Mataram setelah sunan / Susuhan / AMangkurat II surut / meninggal pada tahun 1703, memberi peluang bagi VOC untuk mencampuri urusan kerajaan. Dengan maksud memecah belah, Belanda membantu Pangeran Puger, adik Amangkurat II untuk merebut tahta menghadapi Sunan Mas, Putra Amangkurat II yang menjadi Amangkurat III. Kompeni Belanda mengangkat pangeran Puger menjadi Paja dengan gelar Susuhunan Paku Buwono 1. Pada waktu itulah seorang Pangeran yang bernama R.M. Suryo Putro yang merasa sangat sakit hati atas peristiwa itu, sehingga memutuskan untuk pergi keluar Kraton menuju ke arah Timur / Brang Wetan.


Dalam perjalanannya paneran Suryo Putro / R. M. Suryo Putro sampai di Surabaya. Di sana ada satu kampung yang bernama kampung Gedangan. Secara kebetulan di kampung tersebut ada sebuah Pondok Pesantren namanya Pondok Pesantren Gedangan. Pengasuh Pondok Pesantren Gedangan saat itu adalah Kyai Abdullah Muhsin. Singkat cerita, R. M. Suryo Putro akhirnya menjadi santri di Pondok Pesantren tersebut dan berganti nama M. Ihsan.Salah satu kegiatan rutin yang diadakan di pondok pesantren Gedangan setiap 35 hari sekali (selapan dina) adalah pengajian umum.Tidak terduga, suatu saat, ketika Kyai Abdullah Muhsin mengadakan pengajian lapanan, dating berkunjung seorang pejbat negara. Beliau adalah Adipati Pasuruhan yang bernama Adopati Wironegoro. AdipatiWironegoro meripakan gelar yang diberikan Raja Mataram Kartosuro / Amangkurat II kepada Untung Suropati. Gelar tersebut diberikan sesuai dangan jabatannya sebagai Adipati Pasuruhan, berkat keberhasilan Untung Suropati membunuh pimpinan Kompeni Belanda yang bernama Kapten Francois Tack beserta 77 prajurit Belanda .


Gapura Masjid jami' Mlangi

Kehadiran seorang pejabat negara diacara pengajian yang diadakan oleh Pondok Pesantren yang diasuhnya, tentu saja membuat Kyai Abdullah Muhsin merasa senang dan menyambutnya penuh kehormatan.Kebetulan yang menyajikan hidangan untuk para tamu tersebut adalah santri–santri pondok, termasuk M. Ihsan sebagai pimpinan.Pada waktu Ihsan mondar-mandir di muka tempat duduk Kanjeng Adipati guna menyajkan hidangan, ternyata Kanjeng Adipati mengamatinya dengan seksama. Hal ini karena beliau merasa sudah pernah bertamu, dan beliau yakin sekali kalau santri itu adalah seorang bangsawan.


Setelah pengajian tersebut selesai, Kanjeng Adipati tidak segera pulang, tetapi justru meminta kepada Kyai Abdullah Muhsin supaya memanggil santrinya yang diduganya sebagai bangsawan tadi. Demi penghormatan terhadap pejabat negara, maka Kyai Abdullah Muhsin, segera memanggil santrinya yang bernama Ihsan. Dalam benak sang Kyai bertanya-tanya apakah sebabnya Kanjeng Adipati ingin sekali bertamu dengan santrinya itu.Tidak berapa lama kemudaian, M. Ihsan yang berwajah tampan dan santun itupun menghadap Kanjeng Adipati Wirlonegoro. Setelah bersalam-salaman baik Kanjeng Adipati Wironegoro maupun M.Ichsanatau R.M. Suryo Putro saling meyakini dan tidak lupa bahwa mereka sudah saling mengenal sebelumnya.Kepada Kyai Abdullah Muhsin, kedua Priyogung itu meminta untuk merahasiakan pertemuan tersebut dan tetap menganggap pangeran R.M.Suryo Putro sebagai santri biasa, jangan sampai ketahuan kalau beliau adalah seorang bangsawan. Sambil pamitan pulang Kanjeng Adipati memohon dengan hormat kepada pangeran untuk sudi berkunjung ke Kadipaten dengan menyamar, yang segera disanggupi oleh Pangeran.


Pada suatu saat, Pangeran berkesempatan berkunjung ke Kadipaten untuk menyampaikan pesan yang isinya jangan sampai keberadaan beliau di Pondok Pesantern Gedangan diketahui oleh keluarga / kerabat Kraton.
Selama berkunjung di Kadipaten Pasuruhan, Pangeran dijamu secara baik dan dikenalkan dengan semua keluarga Adipati Wironegoro termasuk putrinya yang bernama R.A.Retno Susilowati.Dari waktu berganti waktu, dengan pertimbangan yang sangat matang antara Kanjeng Adipati Wironegoro, Kyai Abdullah Muhsin dan Pangeran R.M. Suryo Putro atau M.Ihsan, diambillah keputusan untuk menikahkan Pangeran R.M. Suryo Putro dengan putri Kanjeng Adipati yaitu R.A. Retno Susilowati. Kemudian setelah pernikahan tersebut, R.A. Susilowati pun diboyong ke Pondok Pesantren Gedangan untuk sementara waktu. Sementara itu, selama ditinggal pergi oleh R.M. Suryo Putro, keadaan Kerajaan Mataram semakin tidak menentu. Hal ini dipicu oleh akal licik Belanda yang mengangkat / mengganti Raja dengan maksud menimbulkan konflik internal diantara para Pangeran sehingga timbul perpecahan diantara mereka Pada saat masa keprihatinan tersebut, Raja mendapat kabar dari telik sandi bahwa Pangeran Suryo Putro berada diSurabaya berguru di Pondok Pesantern Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin.


Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput sang Pangeran kembali ke Mataram Kartosuro. Karena hal itu merupakan perintah Raja, Sang Pangeran tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu istri Pangeran yang sedang hamil dititipkan kepada Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran berpesan bahwa apabila istrinya melahirkan, jika yang terlahir adalah bayi laki-laki diberi nama R.M. Sandiyo, namun bila perempuan, pemberian namanya diserahkan Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran juga meminta pada Kyai Abdullah Muhsin, agar mendidik anak tersebut sampai menguasai ilmu agama secara sempurna. Dan setelah dewasa sang anak akan dijemput untuk pulang ke Mataram Kartosuro.

Setibanya di Mataram Kartosuro,sang Pangeran langsung dinobatkan menjadi raja dengan gelar Susuhunan Amangkurat Jawi / Amangkurat IV. Kanjeng Susuhunan Amangkurat IV memerintah kurang lebih pada tahun 1719-1726. Sebelum meningal, beliau teringat pernah menitipkan istri yang bernama R.A. Retno Susilowati yang ketika ditinggal sedang hamil. Mengingat hal itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, diperkirakan bayi tersebut sudah tumbuh dewasa.


2. Perjalanan R.M.Sandiyo (M.Nur Iman) ke Mataram Kartosuro

Sang Raja kemudian memberi perintah kepada punggawa Kraton untuk menjemput putranya dan mengajaknya kembali ke Kraton Kartosuro agar dapat berkumpul dengan keluarga / kerabatnya, termasuk para Pangeran. Adapun putra Raja yang lahir di Pondok Pesantren Gedangan tersebut telah tumbuh menjadi Priya yang gagah dan tampan. Sesuai amanat Ayahandanya, ia diberi nama R.M. Sandiyo. Selain itu, Kyai Abdullah Muhsin juga memberinya nama yaitu M. Nur Iman. Nama ini sesuai dengan tindak tanduknya yang arif dan bijak selama menjadi santri.M. Nur Iman yang telah menguasai ilmu agama secara sempurna memang sangat didambakan oleh Kyai Abdullah Muhsin, karena amal ilmunya yang tinggi serta kesolehannya. Sang Kyai pun yakin bahwa setelah dewasa M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar yang masyhur.


Pada waktu utsan sang Raja tiba untuk menjemput dirinya, R.M. Sandiyo atau Nur Iman bersedia pulang ke Mataram Kartosuro asalkan keberangkatannya tidak bersama-sama dengan utusan sang Raja. Setelah pamit dan minta do'a restu pada sang guru, R.M. Sandiyo atau M. Nur Iman berangkat menuju Mataram Kartosuro dengan ditemani 2 orang sahabat yang dikasihi dan dicintainya yaitu Sanusi dan Tanmisani.


Sang Kyai berpesan agar M. Nur Iman tidak melupakan visi dan misinya sebagai seorang ulama, yaitu menyampaiakan amar ma'ruf nahi munkar, kapan dan dimana saja. Juga untuk berjuang menegakkan kebenaran Islam serta mendirikan Pondok Pesantren dimana ia bertempat tinggal. Dalam perjalanannya menuju kearah barat, M. Nur Iman beserta kedua temannya sekaligus melakukan dakwah demi berkembangnya agama Islam. Dari kampung ke kampung, dari desa ke desa hingga di setiap kota yang dilalui, M. Nur iman beserta kedua temanyya senantiasa berdakwah, bahkan berhasil mendirikan Pindok Pesantren. Sebur saja misalnya Pondo Pesantren yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Sehingga perjalanan ini memakan waktu hingga beberapa tahun. Setelah sekian lama menempuh perjalanan, M. Nur Iman dan kedua temannya akhirnya sampai di kerajaan Mataram Kaeta suro dan langsung menghadap / sungkem pada Ayahandanya, Kanjeng Susuhan Amangkurat 1V.
 Masjid Jami' Mlangi


Pada pertemuan itu, selain bertemu dengan saudarasaudaranya, termasuk para pengeran, M. Nur Iman mendapat gelar, B. P. H. (Bendoro Pangeran Hangabei). Sel;ain itu M. Nur Iman juga mendapat rumah kediamannya di Sukowati. 3. Perjanjian Giyanti,

Kondisi Kraton Mataram yang dilanda perpecahan akibat campur tangan Kompeni Belanda, yang membantu susuhunan pakubuwono 111, membuat R. M. Sandiyo / Kyai Nur Imasn prihatin. Hinnga akhirnya terjadilah perang saudara, diman dalam perang ini ada dua pangeran yang bersekutu, yaitu Pangeran Sambar Njowo / R. M. said dengan Pangeran Mangkubumi / R. M. Sujono.


Keadaan seoerti ini masih diperkeruh lagi dengan  adanya huru-hara antara bangsa Tionghoa dengan Kompeni Belanda yang sering disebut Geger Pecinan. Pereng yang sangat melelahkan dan menghabuskan biaya / dana terlalu banyak tesebut akhirnya bisa diakhiri, dengan adanya perjanjian perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Perjanjian perdamaian tersebut terjadi kurang lebih pada tahun 1755 di desa GIyanti, sehngga perjanjian itupun diberi nama Prjanjian Giyanti. Isi dari Perjanjian Giyanti antara lain :


1.Kerajaan Mataram Kartosuro didagi menjadi dua :

Dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono 111, beribukota di Surokarto.


Dari Prambanan ke barat dengan ibukota Yogyakarta , menjadi milik Pangeran Mangkubui yang kemudian bergelar Sultan Hamenku Buwono I .


2.Pangeran Sambar Njowo / R. M. Said diberi kedudukasn sebagai Adipati denagn gelar Adipati Mangkunegoro I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro. Puro tersebut diberi nama Puro Mangkunegoro.


Adanya Perjanjian Giyanti ini ternyata dapat meredakan ketegangan yang terjadi antara Mataram Surokarto dengan Mataram Yogyakarta ditambah Puro Mangkunegoro, sehingga suasana pun menjadi tenteram. Dalam keadaan tenteram inilah, kedua Raja menjadi teringat bahwa mereka masih mempunyai saudara yang bernama BPH Sandiyo / Kyai Nur Iman. Kemudian masing- masing Raja memerintahkan prajuritnya untuk mencari tahu keberadaan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman.


4.Asal-usul Nama Mlangi


Sementara itu, BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman, pada waktu perang saudara berkecamuk justru memutuskan untuk pergi keluar benteng Kraton beserta kedua teman akrabnya, Sanusi dan Tanmisani.Dengan semangat tinggi dan kemauan keras, Kyai Nur Iman dan kedua temannya melakukan perjalanan, melaksanakan da'wah mengembangkan agama Islam.Mereka juga menanamkan jiwa patriotisme guna menimbulkan rasa benci masyarakat terhadap kaum penjajah yaitu Kompeni Belanda. Perjuangan dan seruan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman bersama kedua temannya ternyata disambut rakyat dengan sepenuh hati, sehingga agama Islam pun berkembang dengan pesat. Dari arah Kartosuro ke Barat, sampailah perjalanan Kyai Nur Iman dan kedua temannya itu di suatu daerah di Kulon Progo. Kedatangannya diterima dengan senang hati oleh seorang Demang yang bernama Hadi Wongso. Demang Hadi Wongso adalah penguasa deda Gelugu, yang kemudian bersama keluarganya bersedia memeluk agama Islam. Tak lama berselang, setelah demang Hadi wonso memahami bahwa Kyai Nur Iman nyata-nyata adalah Ulama Besar.Dia memohon dengan hormat agar Kyai Nur Iman bersedia menikah dengan putrinya yang bernama Mur Salah. Begitu juga dengan kedua pendereknya, Sanusi dinikahkan dengan Maemunah, sementara Tanmisani menikah dengan Romlah. SEtelah Demang Hadi Wongso meninggal dunia, Kyai Nur Iman sekeluarga pindah tempat ke utara, disebelah timur Kali Progo, yaitu desa Kerisan. Di desa yang masuk wilayah Yogyakarta inilah Kyai Nur Iman bertemu dengan utusan Sultan Hamenku Buwono 1, yang kemudian meminta beliau untuk kembali ke Kraton.



Pada tahun 1976, Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kaneng Sultan Hamengku Buwono

Jumat, 28 Juni 2013

Roro Pembayun Dan Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyokrowati ) Kepemimpinan Bumi dan Langit Penerus Panembahan Senopati

Roro Pembayun Dan Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyokrowati ) adalah putra dan putri Nyai Waskitajati dari suaminya Danang Sutowijaya yang kelak menjadi raja Mataram pertama. Roro Pembayun dilahirkan oleh Nyai Waskita Jati yang diperistri oleh Danang Sutowija saat bertarak Brata ( bersemedi) di Hutan Dlepih Kayangan Wonogiri pada saat yang sama Ki Penjawi, putranya Pragolapati dan putrinya Nyai Waskitajati sedang berkunjung ke Dlepih untuk bertirakat. Saat itu Panembahan Senapati melangsungkan akad Nikah sekaligus dengan Kanjeng Ratu Kidul yang dinikahkan oleh ayah Kanjeng Ratu Kidul , Jin Munawar pengawal kerajaan Nabi Sulaiman di Boko Prambanan dan dengan Nyai Waskitajati yang dinikahkan oleh ayahnya Ki Penjawi, kejadian di Dlepih ini juga melahirkan kisah Raden Ronggo , anak angkat Panembahan Senopati dari Roro Semangkin atau Nyi Puju dan Kyai Puju, abdidalem Panembahan yang melayani keperluan orang orang yang berziarah ke Dlepih, Raden Ronggo kelak menjadi seorang yang sakti pilih tanding dilingkungan kraton Mataram.

Kembali ke kisah Roro Pembayun, karena saat proses bulan madu Panembahan Senopati dan Nyai Waskitajati di Hutan Dlepih maka Roro Pembayun menjadi seorang yang sangat merakyat di akhir hayatnya, demikian juga dengan seluruh anak keturunannya, bisa disebut bahwa keturunan Roro Pembayun menjadi pemimpin tidak resmi dari kerajaan Mataram selanjutnya. Sementara Raden Mas Jolang (adik Roro Pembayun) lahir dalam lingkungan istana Mataram Kotagedhe, maka besar menjadi seorang raja yang sebenarnya, kelak ia menggantikan Panembahan Senopati menjadi Raja Mataram Islam kedua tahun 1601 - 1613 , anaknya Raden Mas Rangsang kelak dikenal sebagai Sultan Agung , raja terbesar Mataram Islam yang bertahta dari tahun 1613 - 1645.

Kelak Nyai Waskitajati meninggal saat melahirkan anak ketiganya, kedudukan permaisuri Mataram akhirnya digantikan oleh Retno Dumilah, putri dari Bupati Madiun Ronggo Jumeno. Garis takdir berjalan tak terelakkan, Roro Pembayun menikah dengan Ki Ageng Mangir III cicit dari Raden Lembu Amisani di Gunungkidul, saat menghadap mertuanya di Mataram, Raden Ronggo yang membenci putra Mahkota Raden Mas Jolang , membunuh Ki Ageng Mangir dipesalatan Panembahan Senopati, meskipun demikian dalam kandungan Roro Pembayun telah tersemai janin milik Ki Ageng Mangir yang kelak lahir di bumi neneknya di Pati , anak itu bernama Ki Bagus Wanabaya.

Kisah Panembahan Senopati di Dlepih Kayangan Wonogiri



Panembahan Senopati. Menurut kisah sejarah bahwa Raden Danang Sutowijaya adalah putra angkat Sultan Hadiwijaya di Pajang dari anak kandung Ki Gede Pemanahan. Setelah menginjak dewasa beliau nampak memiliki bakat yang besar dalam ilmu kanuragan, serta ilmu ketatanegaraan. Kemampuan beliau telah dibuktikan sewaktu masih kanak-kanak menjelang remaja, mampu menaklukan Arya Penangsang, Bupati Jipang yang hendak menentang Pajang. Haryo Penangsang tewas dalam pertempuran melawan Danang Sutawijaya atas bantuan siasat Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, diganjar bumi Pati Pesantenan sedang Ki Gede Pemanahan diberi bumi Mentaok.
Menurut ramalan Ki Ageng Giring, bahwa bumi mentaok tersebut kemudian hari akan menjadi kerajaan besar. Ramalan tersebut menimbulkan kekhawatiran Sultan Hadiwijaya, sehingga beliau menunda pemberian bumi Mentaok kepada Ki Gede Pemanahan. Setelah agak lama, Ki Gede Pemanahan minta tolong kepada Sunan Kalijaga untuk menagih kepada Sultan Hadiwijaya perihal bumi Mentaok. Bareulah kemudian bumi Mentaok diberikan penuh kepada Ki Gede Pemanahan.
Bumi Mentaok yang merupakan tanah perdikan (berdaulat penuh), akhirnya menjadi daerah yang ramai dan makmur, sehingga layak menjadi suatu kerajaan tersendiri. Danang Sutawijaya sebagai calon raja masih merasa ragu-ragu akan keselamatannya karena beliau merasa bukan keturunan raja atau bangsawan.  Maka kemudian Raden Danang Sutawijaya bertapa terlebih dahulu untuk minta berkah Ilahi sekaligus mencari petunjuk calon permaisuri.
Perjalanan bertapa Raden Danang Sutawijaya mengarah ke timur selatan Kali Bengawan Solo. Sampai Ndlepih beliau berjumpa Ki Penjawi sahabat ayahandanya, bersama putri Nyimas Waskitajawi putrinya yang sedang bertirakat. Atas Permintaan Raden Danang Sutawijaya Ki Penjawi menikahkan putrinya dengan Panembahan Senopati di Ndlepih , kelak Waskita Jawi akan dijadikan permaisuri setelah nanti dinibatkan menjadi Sultan Mataram. Sebelumnya beliau mendapat firasat bahwa Nyi Mas Waskitajawi  kelak akan menjadi ibu (babon) raja di Jawa.   Waktu di Dlepih Ki Penjawi dan Sutowijaya menginap di rumah Ki Puju. Ki Puju adalah seorang petani yang sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan Dlepih. Anaknya Ny Puju atau Roro Semangkin, sebagai penjual pecel yang sangat terkenal dengan masakan dari pucuk daun puju.
Suatu hari Raden Danang Sutawijaya minta ijin kepada Ki Penjawi mertuanya bahwa dirinya akan masuk kehutan Dlepih untuk bertapa mengikuti jejak Sunan Kalijaga. Nyimas Wakitajawi sengaja ditinggal di rumah, karena tempat yang dituju sangat sukar ditempuh dan wingit. Dalam perjalanan menuju hutan Dlepih, Raden Danang Sutawijaya sampai pada dua batu besar yang bentuknya pipih lebar, sedang ujung atasnya saling bersinggungan sehingga rongganya dapat digunakan untuk lewat. Batu tersebut sampai sekarang masih tegar berdiri dan dinamakan batu selo gapit atau selo panangkep, kemudian beliau meneruskan perjalanan menuju selatan melalui sela gapit. Setelah sampai pada batu besar yang berongga semacam goa, datar dan atasnya melebar seperti payung. Beliau berhenti dan melakukan tafakur di situ. Batu tempat bertafakur tersebut dinamakan sela payung atau batu pamelengan.
Raden Danang Sutawijaya adalah orang muslim taat, maka walaupun menjalani tapa dengan cara patrap semedi, tetapi saat tertentu melakukan sholat lima waktu. Untuk melakukan sholat dipilihnya batu gilang yang hitam mendatar bagaikan sebuah meja yang terletak di sebelah selatan Selo Payung. Batu tempat sholat itu dinamakan Selo Gilang atau batu pesalatan.
Begitu pula pada pagi dan sore hari, Raden Danang Sutawijaya melakukan mandi di sebuah air terjun dekat batu pesalatan yang airnya jernih. Kedung tersebut dinamakan kedung pasiraman.
Demikian kegiatan sehari-hari Raden Danang Sutawijaya di hutan Dlepih. Sedang setiap ahrinya untuk keperluan makan dan minum dikirim oleh Roro Semangkin, karena Nyimas Waskitajawi tidak berani melanggar perintah suaminya masuk hutan Dlepih. Setelah beberapa hari berjalan, sebagai manusia biasa Waskitajawi memiliki rasa cemburu terhadap Raden Danang Sutawijaya yang betah di dalam hutan Dlepih. Kemudian Nyimas Waskitajati mengutus Ki Puju untuk menyelidiki kegiatan calon suaminya. Maka berangkatlah Ki Puju ke dalam hutan mengintip kegiatan Raden Danang Sutawijaya.
Bertepatan waktu pada hari itu Raten Danang Sutawijaya sedang semedi di selo Pamelengan didatangi oleh Kanjeng Ratu Kidul salah satu putri jin keturunan Jin Nabi Sulaiman bernama Muammar di kerajaan Boko Prambanan,  yang telah menjadi kekasihnya semenjak beliau di muara kali opak (pantai laut selatan). Oleh karena pertemuan dua insan itu dirasa kurang enak, Raden Danang Sutawijaya mengajak pindah dari batu pamelengan ke selo Gilang yang lebih sepi dan terlindung hutan lebat. Konon dikisahkan, pada pertemuan mereka menikah dengan wali Jin  Muaamar , ayah Kanjeng Ratu Kidul , setelah itu mereka saling memadu cinta dan Kanjeng Ratu Kidul seperti ikrarnya semula sangggup membantu berdirinya kerajaan Mataram hingga rakyatnya mengalami kesejahteraan. Alhasil belum puas mereka melaksanakan pertemuan, Kanjeng Ratu Kidul terperanjat karena merasa ada seseorang manusia yang mengintip dari semak-semak belukar. Kanjeng Ratu Kidul merasa dirinya 'kamanungsan' maka beliau segera melesat menghindar dan gerakannya menyangkut tasbih Raden Danang Suta Wijaya sampai putus berserakan jatuh di Kedung Pasiraman. Peristiwa putus dan berantakannya tasibh Raden Danang Sutawijaya ini sampai sekarang berkembang menjadi beberapa versi.
1)      Versi Mangkunegaran: pertemuan Kanjeng Ratu Kidul dengan Raden Sutawijaya diketahui oleh Sunana Kalijaga dan beliau menyusul ke Kahyangan untuk menyuruh Raden Danang agar segera pulang ke Mataram. Namun Kanjeng Radu Kidul melarang, sehingga niat Raden Danang akan kembali ke Mataram dicegah daengan menarik tasbih hingga putus berantakan dan bijinya jatuh di Kedung Pasiraman.
2)      Versi Mataram: Pertemuan Kanjeng Ratu Kidul dengan Raden Danang Sutawijaya disusul oleh Waskitajawi sehingga terjadi keributan. Nyimas Waskitajati mengajak kembali ke Mataram, namun Kanjeng Ratu Kidul melarang, kemudian Kanjeng Ratu Kidul menarik tasibh hingga putus berantakan. Atas kebijaksanaan Raden Danang Sutawijaya, keduanya dapat didamaikan dan dijanjikan bahwa keduanya akan dijadikan permaisuri Mataram. Kanjeng Ratu Kidul dianggap permaisuri pertama sedang Nyimas Wadkitajati sebagai permaisuri kedua. Kanjeng Ratu Kidul berkenan hatinya menerima Nyimas Waskitajati sebagai saudara mudanya. Pada saat itu Nyimas Waskitajati mengenakan baju hijau dan kain parangklitik yang nampak menambah kecantikannya. Kemudian menurut legenda masyarakat, apabila ke Dlepih atau ke laut selatan dilarang mengenakan baju hijau dan kain parangklitik. Pemali (larangan) tersebut apabila dilanggar, yang bersangkutan bakal kalap (tewas), diangap dipersaudarakan dengan abdi dalem Kanjeng Ratu Kidul, yaitu Nyi Roro Kidul.
3)      Versi cerita rakyat: Yang terperanjat adalah Raden Danang Sutawijaya dan sangat marah terhadap Ki Puju yang bertindak kurang berkenan di hati beliau. Tatkala akan mengejar Ki Puju, tasbih Raden Danang Sutawija ditarik oleh Kanjeng Ratu Kidul dengan maksud mencegah, sehingga putus berantakan jatuh di Kedung Pasiraman. Niat Raden Danang Sutawijaya tersebut ditahan Kanjeng Ratu Kidul dengan maksud kelak roh halusnya Ki Puju dan Nyi Puju akan dipersaudarakan dengan Nyi Roro Kidul sebagai abdinya dan bertugas menunggu hutan Dlepih.

kisah Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin , Abdidalem kesayangan Panembahan Senopati di Dlepih Kayangan Wonogiri



Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin ini pekerjaanya pergi ke hutan Kahyangan guna mencari daun Puju, dll, disamping untuk keperluan sendiri daun tersebut untuk dijual sebagai penghasilan keluarga. Karena setiap hari pekerjaanya Nyai Puju ini keluar masuk hutan Kahyangan, lama- kelamaan sampai ia melihat Pnb. Senopati. Karena setiap saat Pn. Senopati melepas lelah di pemandian Kahyangan maupun di Sela Gilang. Pnb. Senopati memiliki wajah yang tampan, maka kelamaan Nyai Puju menaruh hati kepada Pnb. Senopati. Hal ini ditandai oleh Nyai Puju yang setiap ke hutan tentu berkeliaran di dekat Pnb. Senopati. Karenanya Nyai Puju berangkat di pagi buta dan pulang sudah larut malam. Dengan niat yang sungguh- sungguh, lama- kelamaan Nyai Puju akhirnya dapat menjumpai Pnb. Senopati, dan sudah barang tentu senang bagi Nyi Puju, apalagi Pnb. Senopati nampak begitu gembira setelah berkenalan dengan Nyai Puju, meski orang desa tapi wajahnya cukup lumayan.  Karena keduanya berkali- kali bahkan hampir tiap hari bertemu.
Kejadian yang berlanjut- lanjut ini membuat suaminya curiga. Dimana Kyai Puju (suami Nyai Puju) mulai kurang percaya lagi terhadap istrinya. Pada suatu hari, Kj Ratu Kidul datang di Kahyangan untuk menjumpai Pnb. Senopati, dan saat yang bersamaan Nyai puju ingin menjumpai Pnb. Senopati juga. Dan apa mau dikata waktu itu Pnb. Senopati sedang berjumpaan dengan Kj. Ratu Kidul dengan mengelus-elus tasbih yang terurai di leher Pnb Senopati, kejadian tersebut membuat cemburu Nyai Puju, dan seketika Nyai Puju langsung kembali kerumahnya menyusuri semak belukar. Kebetulan juga Kyai Puju bermaksud mencari istrinya karena sudah larut malam. Dari celah- celah semak ia melihat pertemuan Pnb Senopati dan bertemu istrinya . Pertemuan suami istri yang saling cemburu ini membuat keduanya menyadari posisinya dan saling mengaku salah , secara tak sadar mereka berolah asmara dan Nyai Roro Semangkin akhirnya hamil dan kelak melahirkan seorang anak yang sangat sakti bernama raden Ronggo , anak ini kelak diangkat anak oleh Panembahan Senopati oleh karena pengabdian Nyi Puju .
Ketika sudah menjadi raja Pnb. Senopati mengutus beberapa kurirnya ke Kahyangan untuk mencari Nyai Puju beserta Kyai Puju dan anak mereka , agar segera datang ke Mataram. Hal ini dikarenakan setelah Pnb Senopati menjadi Sultan Mataram, selalu teringat Nyai Puju. Namun ditengah perjalanan sebelum sampai Mataram Kyai Puju bunuh diri , karena ia merasa mempunyai kesalahan besar ketika ia mencemburui istrinya berselingkuh dengan Pnb. Senopati. Kyai Puju meninggal setibanya di daerah Jatibedug, segeralah mayatnya dikubur dipinggir jalan dengan undukan bebatuan ditepi jalan besar, sedangkan Nyai Puju dan anaknya Raden Ronggo terus saja dibawa ke Mataram. Setibanya di Kraton Mataram, Nayai Puju menerima hadiah yang bermacam- macam dari Pnb. Senopati. Disamping itu Pnb. Senopati juga berpesan kepada Nyai Puju Agar menjaga kawasan Kahyangan Dlepih. Dengan gembira setelah menerima hadiah dari Pnb. Senopati, maka disuatu malam Nyai Puju kembali ke Kahyangan untuk melaksanakan semua dawuh pnb. Senopati, mengingat Kahyangan merupakan daerah yang dikuasai Mataram, sementara anaknya tinggal di istana Kotagede. Nyai Puju semakin tua dan meninggal dunia. Sebagai sesepuh di desa Dlepih, maka jenazahnya dimakamkan didesa Dlepih selatan Khayangan. Adapaun Sukmanya menempati Sela Bethek seperti yang diminta Pnb. Senopati.

Jumat, 31 Mei 2013

Prajurit Mataram Wanita Dari Tapos Depok Pembunh Jenderal Belanda di Batavia 20 September 1629.


Ditulis oleh Hasnan Habib di Depok

Raden Ayu Utari Sandijayaningsih, Cucu Pembayun dari Mataram adalah Pelaku pembunuhan Gubernur VOC JP Coen dan istrinya di tahun 1629?

Jan Pieter Soen Coen , Gubernur Jendral VOC di Batavia yang meninggal tahun 1629 Masehi adalah salah satu sosok pahlawan kerajaan Belanda pada masanya, catatan militernya sarat dengan keberhasilan dalam membela kerajaan Belanda. Ambon, Banten dan Jakarta pernah ditaklukkan, dan darinyalah kekayaan Nusantara mengalir ke kantong kas kerajaan Belanda.

Dalam catatan arsip Belanda, JP Coen meninggal akibat serangan penyakit kolera pada 20 September 1629, tepat saat tentara Mataram dibawah pimpinan jenderal Panembahan Juminah dan Adipati Suro Agul Agul menyerbu jantung kota Batavia, misteri kematian JP Coen tetap menjadi tanda tanya sejarah , sebab pihak Mataram mengklaim bahwa JP Coen meninggal akibat tebasan pedang pasukan khusus sandi Mataram yang berada di garis belakang pertahanan Batavia, kepala JP Coen dipenggal dan dibawa ke kerajaan Mataram di Plered Bantul Yogyakarta dan sampai saat Sultan Agung wafat di tahun 1645, kepala JP Coen itu ikut dikuburkan dibawah tangga makam Sultan Agung, sebagai pertanda kemenangan Mataram terhadap kerajaan Belanda.
(Gambar : Makam Ratu Roro Pembayun putri Panembahan Senopati Mataram, Makam Tumenggung Baurekso, panglima perang Mataram di Batavia 1628 dan Raden Bagus Wonoboyo, komandan pasukan sandi Mataram 1629 di keramat Kebayunan Tapos Depok, sedangkan makam Raden Utari Sandi Jayaningsih dan Wali Mahmudin ada di kramat Wali Mahmudin di Tapos Depok Jawa Barat- penulis tidak pernah berhasil mengambil gambarnya )

Klaim meninggalnya JP Coen oleh tentara komando Mataram agaknya masuk akal, karena 4 hari sebelumnya ( 16 September 1629 ) Eva Ment, istri JP Coen meninggal akibat keracunan, padahal Eva Ment dalam keadaan hamil tua, arsip Belanda menuliskan bahwa Eva Ment meninggal bersama bayinya akibat melahirkan. Akibat meninggalnya sang istri inilah JP Coen yang terkenal sangat disiplin dan tangguh menjadi lengah. Sebetulnya posisi Utari Sandijayaningsih sebagai spion utama Mataram hampir terbongkar ketika salah satu perwira muda VOC bernama Pieter J. Cortenhoeff mencurigai dan mengawasi Utari
sebagai pihak mata mata, namun dengan kecerdikan Bagus Wanabaya Pieter J. Cortenhoeff dapat dijebak dan digiring untuk masuk kedalam kamar Sarah Specx dalam rumah Jan Pieter Soen Coen, lalu terjadilah skandal Sarah Specx yang tertangkap tangan oleh Utari Sandijayangsih,
Pieter J. Cortenhoeff akhirnya dihukum pancung sampai mati pada bulan Juli 1629
Yang menjadi pertanyaan, siapakah sebetulnya yang membunuh Eva Ment dan JP Coen pada bulan September 1629 itu? Sampai saat ini belum pernah ada yang mengemukakan ke pentas sejarah Indonesia karena memang tidak ada dasar kejadian maupun fakta yang bisa dijadikan pegangan, tulisan ini menyampaikan salah satu data yang mungkin bisa dijadikan titik tolak mencari kebenaran sejarah atas kejadian yang menurut penulis sangat heroik sebab korbannya adalah Gubernur jenderal VOC dan istrinya, perlu diketahui selama Belanda menjajah Indonesia hanya 2 orang Jendral yang terbunuh di bumi Nusantara ini, JP Coen di Batavia, Van Heutz di Aceh dan sementara Brigjen Mallaby di Surabaya adalah jenderal kerajaan Inggris.

Kisah pembunuhan JP Coen dan istrinya di tahun 1629 itu tak lepas dari peranan Raden Bagus Wonoboyo dan putra-putrinya yaitu Raden Panji Wanayasa dan Raden Utari Sandi Jayaningsih, Raden Bagus Wonoboyo adalah putra dari Retno Pembayun, putri sulung Panembahan Senopati Mataram, istri Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang terbunuh oleh Panembahan Senopati di Kotagedhe.

Sejak mengikuti perang Mataram-Batavia di Jepara tahun 1620, Raden Bagus Wonoboyo membawa sang ibunda Retno Pembayun ke daerah Tapos Depok dalam rangka mendekati daerah Batavia dimana Retno Pembayun ingin lebih menjauh dari Mataram, jiwa kecintaan Retno Pembayun pada negeri Mataram diwujudkan dengan pengabdian demi bangsa Retno Pembayun tahu bahwa musuh Mataram yang lebih tangguh ada di Batavia, maka beliau membawa anak dan cucunya ke daerah hutan Tapos ( sekarang kecamatan Tapos kota Depok )

Sayang keinginan Roro Retno Pembayun berperang melawan tentara Kumpeni Belanda tidak kesampaian , Beliau meninggal dalam usia 76 tahun di tahun 1625, jenazahnya dimakamkan di kampung Kebayunan, Tapos Depok.

Komunitas mantan prajurit Mataram di perang Jepara 1619 terus bertambah banyak di hutan kali Sunter Tapos Depok, termasuk Ki Jepra (ki Kartaran, keturunan Siliwangi) yang menjadi teman karib Raden Bagus Wonoboyo dalam perang Jepara, makam Ki Jepra saat ini ada dalam kebon Raya Bogor, sebagaimana ibunda Retno Pembayun mereka adalah murid kesayangan dari Pangeran Benawa di Kendal Jawa Tengah.

Sejak tahun 1627 , bekerjasama dengan Tumenggung Kertiwongso dari Tegal, hutan kali Sunter didaerah Tapos telah dipersiapkan Raden Bagus Wonoboyo menjadi tempat pelatihan rahasia tentara Sandi Mataram, nama nama Nyencle, Jati, Sidomukti, Poncol, dan Banjaran Pucung adalah kode umbul, atau bendera penanda yang harus diikuti pasukan Mataram.

Kembali pada wafatnya JP Coen adalah buah kerja pasukan “Dom Sumuruping Mbanyu” yaitu pasukan khusus Mataram termasuk Raden Ayu Utari Sandijayaningsih anak Raden Bagus Wonoboyo, cucu dari Roro Ratu Pembayun, yang saat itu menjadi penyanyi kesayangan JP Coen di dalam kastil, dalam operasi yang sangat rahasia itu tersebutlah seorang juru tulis VOC yang bersandi Wong Agung Aceh, pemuda berkulit putih dan berhidung mancung yang ternyata adalah kepercayaan Sultan Agung yang diselundupkan melalui kapal dagang Aceh yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar.

Operasi yang dikomandoi oleh Mahmudin ( Wong Agung Aceh ) ini berhasil dengan sukses, setelah Raden Utari Sandi Jayaningsih mampu meminumkan racun arsenikum pada Eva Ment dan mengakibatkan istri JP Coen beserta anaknya itu meninggal. Maka 4 hari berikutnya giliran dia menggoda JP Coen dalam pesta mabuk-mabukan dan JP Coen yang tidak biasa minum sampai mabuk, lupa dan lengah sehingga berniat memperkosa Raden Ayu Utari Sandijayaningsih dalam kamarnya.

Dalam keadaan mabuk JP Coen tidak melihat bahwa Mahmudin menyelinap masuk kedalam kamar JP Coen dan memenggal kepala JP Coen yang dengan cepat oleh Utari Sandi Jayaningsih dibawa keluar benteng, menyusul beberapa ledakan hebat yang diakibatkan sabotase salah satu pasukan Sandi bernama Wargo, segera setelah serangan bom pada pesta itu, beberapa korban termasuk perempuan bergelimpangan dalam keadaan hangus sehingga Utari Sandi Jayaningsih dinyatakan tewas dalam petaka itu.

Peran raden Ayu Utari Sandijayaningsih didalam cerita ini sangat mirip dengan yang dilakukan sang neneknya Roro Pembayun saat menaklukkan Ki Ageng Mangir, jadi buah jatuh selalu tidak jauh dari pohonnya , namun peranan kali ini lebih berskala besar yaitu melawan penjajah kolonial dan merupakan bangsa asing yang sangat licik dan kuat persenjataannya.

Perjalanan kepala JP Coen dari benteng VOC diterima oleh Raden Bagus Wonoboyo yang kemudian secara estafet dibawa ke Mataram oleh divisi Tumenggung Surotani untuk diserahkan kepada Sultan Agung di Mataram , keberhasilan operasi komando pembunuh JP Coen ini secara keseluruhan telah menghentikan niat Sultan Agung melanjutkan peperangan melawan Kompeni Belanda di Batavia, namun selama Sultan Agung masih bertahta di Mataram selama itu pula Batavia tidak berani mengusik kedudukan Sultan Agung di Mataram.

Kini sang pahlawan wanita Raden Utari Sandi Jayaningsih jasadnya terbaring tenang disamping Wali Mahmudin di keramat Wali Mahmudin kelurahan Tapos, kecamatan Tapos Depok Jawa Barat, tak ada cerita bahwa beliau menikah dengan Wali Mahmudin, namun melihat posisi kuburnya kemungkinan besar Wali Mahmudin menikah dengan Raden Ayu Utari Sandi Jayaningsih dan meninggal terlebih dahulu dari istrinya, hal ini diketahui dari posisi rumahnya yaitu makam Wali Mahmudin berada disebelah barat dari makam Utari Sandijayaningsih.

Keramat Wali Mahmudin mempunyai ciri aneh yaitu pohon beringin lo berdiamater kurang lebih 2 m yang tumbuh menyamping dari arah utara makam Wali Mahmudin,

Selasa, 09 April 2013

Skets Pangeran Diponegoro ketika Sakit, 1830-an. Oleh AJ.BIK, Pengawas P Diponegoro dalam tahanan VOC di Batavia

Berikut ini adalah sketsa Pangeran Diponegoro yang dibuat oleh Adrianus Johannes Bik (1790-1872). Sketsa ini dibuat dengan menggunakan arang. A.J Bik sendiri adalah pemangku hukum Batavia dan pengawas Pangeran Diponegoro selama Pangeran Diponegoro tinggal di Balaikota (Satdhuis) dalam rangka pengasingannya. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa skesta ini dibuat pada tahun 1830-an pasca penangkapannya di Magelang. Disebutkan bahwa A.J. Bik yang membuat sketsa atas dirinya adalah seniman paling terdidik di Hindia Belanda.
Dalam gambar sketsa ini tampak bahwa Pangeran Diponegoro mengenakan pakaian ulama yang dikenakannya selama Perang Jawa (1825-1830). Pakaian tersebut terdiri atas sorban, baju koko tanpa kerah, dan jubah. Sehelai kain selempang tersampir pada bahu kanannya. Ia juga tampak menyelipkan pusakanya yang berupa keris yang diberi nama Kyai Ageng Bondoyudo. Kyai Bondoyudo ini terselip pada ikat pinggang yang terbuat dari bahan sutera dengan motif bunga-bunga.Tampak dalam sketsa ini pipi Pangeran Diponegoro demikian cekung. Hal demikian itu menonjolkan tulang pipinya yang tinggi. Pipi cekung dan tulang pipi yang menonjol ini adalah akibat sakit malaria yang dideritanya. Malaria itu ia derita sejak ia berkelana di hutan-butan Bagelen (mungkin juga hutan-hutan Menoreh/Kulon Progo) pada masa akhir Perang Jawa yang ia kobarkan.
Tidak banyak orang yang tahu tentang gambaran Pangeran Diponegoro dalam keadaannya yang sakit dan pucat seperti itu sebab banyak penggambaran sosok Pangeran Dipongeoro yang ditampilkan dengan demikian gagah atau garang ketika memimpin peperangan. Keteguhannya untuk terus bertahan sekalipun sekutu-sekutunya banyak yang menyerah dan ditangkap Belanda barangkali juga turut menggerogoti sisi psikologisnya yang pada gilirannya juga ikut memperlemah daya tahan fisik pribadinya. Sekalipun demikian, ia tetap teguh untuk tidak menyerah kepada Belanda sampai kemudian ia ditaklukkan melalui meja perundingan yang dirancang dengan segala kelicikan dan tipu muslihat Belanda yang sama sekali mengabaikan sifat-sifat kesatriaan.Apa yang terjadi atas Pangeran Diponegoro ini mungkin sama seperti yang dialami Jenderal Soedirman yang juga memimpin perang dalam keadaan sakit. Sekalipun mereka menderita demikian mereka tetap tidak manja bahkan tetap tidak mau dirayu, dibujuk dengan iming-iming kekuasaan dan harta benda yang dapat menjamin hidup duniawi mereka.
Sumber: a.sartono, Tembi.com, Peter Carey, 2012, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan di Jawa, 1785-1855, Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV-Jakarta, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Aseasuk, Fadli Zon Library, dan Gramedia Printing Group. Tulisan ini sengaja ditampilkan agar anak anak ku mampu melihat secara historis peranan para pahlawan dalam kelahiran suatu bangsa..